Bank Syari’ah Sebagai Alternatif Investasi
Sumber-Informasi.com - Dengan sistem bagi hasil, menempatkan uang di bank syariah memungkinkan mendapatkan hasil investasi yang sangat menguntungkan. Selain tentu saja, masalah non riba sebagai faktor pertimbangan utama.
Kehadiran bank syariah di Indonesia sebagai implementasi UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992, memberikan alternatif tambahan kesempatan berinvestasi dalam bentuk deposito maupun tabungan. Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam ini menawarkan sistem bagi hasil kepada nasabahnya. Dengan sistem ini keuntungan yang diperoleh nasabah bank syariah bisa berubah-ubah, tergantung pada pendapatan dan keuntungan yang dliperoleh bank tersebut. Walaupun besarnya persentase bagi hasil sudah ditetapkan oleh pihak bank, namun biasanya masih terbuka ruang tawar-menawar dalam batas yang wajar.
Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah dari sebelumnya. Selain itu, UU No. 23 tentang Bank Indonesia juga menegaskan bahwa Bank Indonesia mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas penunjang yang mendukung operasional bank syariah. Kedua undang-undang itulah yang menjadi dasar hukum penerapan dual banking system di Indonesia, yakni terselenggaranya dua sistem perbankan, konvensional dan syariah, secara berdampingan.
Sistem ini sebenarnya sudah berlaku di negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Bahrain, dan sebagainya. Malaysia bahkan memiliki undang-undang tersendiri untuk bank Islam, yaitu Islamic Banking Act 1983. Dengan diberlakukannya dual banking system ini masyarakat bisa memilih sistem yang ia sukai untuk melakukan transaksi keuangannya.
Bagi yang memilih bank syariah sebagai alat transaksi, bank ini memiliki dua jenis perhitungan bagi hasil. Pertama adalah profit sharing. Dalam sistem ini besar kecilnya pendapatan bagi hasil yang akan diterima nasabah tergantung pada keuntungan bank. Kedua, revenue sharing, dimana penentuan bagi hasil tergantung pada pendapatan kotor bank. Bank-bank syariah di Indonesia umumnya menerapkan sistem revenue sharing. Pola ini dapat memperkecil kerugian bagi nasabah. Hanya saja, jika bagi hasil didasarkan pada profit sharing, persentase bagi hasil untuk nasabah jauh lebih tinggi.
Mengenai sistem bagi hasil ini terdapat sistem wadiah (titipan) dan sistem mudarobah. Pada sistem wadiah bank tidak berkewajiban memberikan hasil yang diolah, kecuali hanya sekedar bonus yang besarnya tidak ditentukan. Sedangkan pada sistem mudarobah pihak bank terikat pada perjanjian awal, misalnya dengan bagi hasil 40:60.
Sedangkan bagi peminjam dana di bank syariah, diberlakukan sistem murabahah, yaitu apa yang menjadi kebutuhan nasabah disediakan oleh pihak bank. Jika ada nasabah yang membutuhkan mobil, misalnya, dengan harga seratus juta, maka bank membelikan mobil tersebut di dealer yang ditunjuk. Kemudian mobil dijual lagi kepada nasabah dengan margin yang telah disepakati bersama. Sedangkan pada sistem mudarobah, misalkan ada usaha yang memerlukan kredit Rp 500 juta, maka bank akan ikut dalam pembiayaan usaha tersebut dengan dana Rp 500 juta. Ini akan menghasilkan proyeksi keuntungan. Dari proyeksi itu nanti melahirkan bagi hasil, umpamanya 15:85. Dimana 15% untuk pihak bank, dan 85% untuk peminjam.
Pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) juga berlaku hal yang tidak jauh berbeda. Investor atau syahibul mal yang memasukkan uangnya ke BM akan mendapat nisbah bagi hasil sesuai perjanjian, misalnya 80:20 (80% untuk penabung). Dari keuntungan bank pada akhir bulan yang didapatkan dari mudharib (debitur) atau pengusaha akan dimasukkan lagi dalam dua bentuk, yaitu margin (jual beli) dan bagi hasil, baik kepada syahibul mal (investor) maupun kepada pengusaha. Jadi karena sistemnya bagi hasil dengan syahibul mal maka bank tidak mempunyai ikatan untuk membayar fixed amount tertentu.
Dalam perjanjian prinsip syariah yang dilakukan BMI akan menganut prinsip akad tetap (fixed). Artinya apabila terjadi fluktuasi (kenaikan atau penurunan) tingkat bunga(cosf of money) maka kewajiban pengusaha akan tetap sampai akhir, kecuali dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan di bank konvensional, rate pinjaman akan dinaikkan atau diturunkan sesuai kondisi bisnis saat itu.
Sementara itu di Bank Syariah Mandiri dikenal adanya dua jenis bagi hasil, yaitu sistem Al Mudharabah dan Al Musyakarah. Sistem Al Mudharabah ini dirujukan untuk pembiayaan proyek-proyek baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam hal ini bank bertindak sebagai shahibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100% dan nasabah bertindak sebagai mudharib (pengelola/debitur). Jika proyek mendapat keuntungan, maka keuntungan dibagi menurut kesepakatan awal, sedangkan jika terjadi kerugian yang bukan disebabkan kelalaian nasabah, maka hal itu menjadi resiko bank.
Pada sistem Al Musyakarah, nasabah memiliki sebagian modal proyek dan bank menyediakan sebagiannya lagi. Dalam hal ini berlaku kaidah share, keuntungan dibagi menurut kesepakatan, sedangkan jika rugi dibagi menurut porsi modal masing-masing.
Selain sistem bagi hasil, produk penyaluran dana (pembiayaan) di Bank Syariah Mandiri juga dikenal dengan sistem jual beli, yang meliputi Bai'al Murabahah (untuk pembelian barang-barang inventori), Bai'as Salam (pembiayaan jangka pendek, seperti untuk sektor pertanian, peternakan, perkebunan), dan Bai'as Istishna (pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek). Disamping itu terdapat juga sistem sewa dan Simpanan Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Mengenai resiko kerugian, ada jaminan bagi peminjam lebih dilihat secara keseluruhan, yaitu untuk memastikan bahwa pengusaha tidak menyimpang dari akad. Jadi lebih banyak untuk meng-cover credit risk bukan business risk. Artinya, kalau memang terjadi kebangkrutan atau kerugian karena memang kondisi yang tidak terhindarkan (force majeur) bank akan membuat suatu peninjauan kembali yang berbeda dan akan dilakukan perhitungan tersendiri.
Sedangkan untuk jaminan akan dilihat lagi apakah karena karakter penyimpangan atau karena kondisi yang tidak terhindarkan. Jika kondisi yang tidak terhindarkan terjadi, kemungkinan bisa dimaafkan. Cuma sebagai bank, tidak bisa memaafkan dengan semudah-mudahnya.
Mengenai kemungkinan terjadinya kerugian pada usaha peminjam dana, idealnya dalam konsep syariah adalah dengan profit sharing atau pembagian keuntungan. Tetapi permasalahannya di lapangan, pihak syahibul mal sulit mengontrol mudharib dalam penggunaan dananya.
Pada revenue sharing kerugian itu tidak masuk ke dalam perjanjian pembagian hasil karena yang dibagikan adalah revenue (hasil penjualan) jadi tidak ada unsur rugi atau laba. Misalkan dana yang disimpan Rp 100 juta, hasil pengelolaan Rp 100 juta itu yang dibagikan. Bahwa ternyata mudharib harus membayar tenaga kerja, atau yang lain, itu bukan beban bank.
Menabung atau mendepositokan uang di bank syariah cukup menarik. Tidak hanya bagi masyarakat muslim, tetapi juga nonmuslim. Pasalnya, dengan sistem bagi hasil terbuka peluang mendapatkan hasil investasi yang lebih besar dibandingkan bunga deposito di bank konvensional. Maka jika ingin mendapatkan return yang lebih besar deposito bank syariah bisa menjadi alternatif. Tentu saja harus didukung kondisi ekonomi yang kondusif, yang memungkinkan perusahaan di sektor riil mampu membukukan keuntungan besar.
Referensi :
https://www.slideshare.net/yogieardhensa/bagi-hasil-bank-syariah
http://www.academia.edu/3158210/ANALISIS_KINERJA_KEUANGAN_BANK_PADA_PT_BANK_MUAMALAT_INDONESIA_Tbk