Generasi “Millenial” yang Menyukai Buku, Akankah Terwujud?
Sumber-Informasi.com - Banyak kalangan paham, generasi saat ini - yang sering disebut generasi millenial - punya kebiasaan berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi millenial dianggap sangat akrab dengan teknologi informasi dan segala hal bertema digital. Oleh karena itu, mereka pun begitu erat dengan gawai pintar yang mudah dibawa ke mana saja, terutama telefon genggam dan tablet.
Akan tetapi, kendati buku elektronik atau e-book juga tersedia di dunia maya, hal itu tidak lantas membuat mereka gemar mengaksesnya melalui gawai pintar. Lantaran sebagian besar identik dengan media sosial, gadget pun lebih banyak dipergunakan untuk urusan seputar itu. Membaca buku masih dianggap aktivitas sekolah atau di tempat les.
Di sisi lain, kita masih bersyukur. Di tengah gempuran media digital dan elektronik, percetakan buku masih bertahan. Tak hanya karena sekolah masih menyediakan buku pelajaran cetak, tetapi komik dan manga yang jadi kesukaan remaja dan anak-anak muda, masih banyak beredar dalam wujud cetak. Itulah sebabnya, perpustakaan yang mengandalkan koleksi material cetak pun masih bertahan.
Apalagi, ada sensasi yang berbeda ketika kita membaca buku elektronik di gadget pintar dan membaca buku cetak. Mata menjadi lekas lelah saat fokus membaca buku di HP dengan layar berukuran 5,5 inci ditambah pendaran cahaya dari layar HP. Konsentrasi bisa buyar tatkala muncul notifikasi grup obrolan dari berbagai aplikasi chat. Keasyikan membaca juga bisa terganggu jika iklan popup sering muncul. Belum lagi jika baterai HP tinggal 15% dan muncul peringatan agar segera dicas.
Semua gangguan itu tidak akan terjadi sewaktu kita membaca buku cetak. Kadang, kita pun jadi lupa waktu karena keasyikan membaca. Itulah sebabnya, masih banyak perpustakaan yang berdiri melayani masyarakat yang ingin membaca koleksinya.
Sesuai perkembangan zaman, perpustakaan modern bermunculan dan menawarkan hal lain di samping buku seperti film, musik, dan berbagai koleksi audio visual lainnya. Semua itu ditunjang dengan ruangan yang nyaman, ramah anak, dan berpenyejuk udara.
Meskipun demikian, perpustakaan konvensional yang masih mengandalkan koleksi buku, tidak lantas pudar. Beberapa di antaranya bahkan sudah berdiri berpuluh-puluh tahun.
Bahkan, jika masyarakat tidak punya waktu atau kesulitan mendatangi perpustakaan, perpustakaanlah yang bergerak mendekati mereka. Fenomena itu terjadi di banyak negara di dunia. Di Kenya, ada perpustakaan yang menggunakan unta sebagai pembawa buku (camel library). Di Kolombia, ada koleksi buku yang diantarkan keledai (biblioburro). Lalu di Norwegia, ada perpustakaan terapung bernama Epos yang mendatangi warga di pulau-pulau kecil.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Barat. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Dispusipda) Jawa Barat memiliki program Perpustakaan Keliling. Lima unit mobil dinas Dipusipda akan berkeliling ke seluruh titik layanan untuk mengantar dan menjemput buku.
Selain itu, PT KAI meluncurkan Rail Clinic generasi ke-4 pada perayaan ke-72 bulan September 2017. Empat gerbong kereta khusus untuk pelayanan masyarakat ini terdiri atas 2 gerbong untuk klinik dan 2 lainnya untuk rail library alias perpustakaan dalam gerbong. Di dalam satu gerbong sepanjang 14 meter tersebut terdapat perpustakaan manual dengan beragam buku untuk kalangan anak-anak sampai pengetahuan umum untuk dewasa.
Bahkan, kalangan pribadi seperti pasangan suami istri M Pian Sopian dan Elis Ratna Suminar tergerak untuk membuat perpustakaan yang menyambangi masyarakat. Elis mengenalkan perpustakaan keliling menggunakan sepeda motor kepada warga sekitar Desa Jatisari, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung sejak 2011. Suaminya pun terpikir ide serupa untuk menaruh buku di dalam angkot.
Semua itu merupakan upaya dan kerja bersama untuk membuat generasi millenial yang menyukai buku. Tak hanya akrab dengan gawai pintar, mereka juga suka membaca buku cetak. Bisa saja mereka kemudian terinspirasi untuk menulis buku.
Kita menyadari, upaya menumbuhkan kesadaran semacam itu tidaklah mudah. Kita tidak menutup mata, sejumlah perpustakaan konvensional dan taman bacaan tutup karena ditinggalkan pembaca. Akan tetapi, tantangan yang sulit sekalipun bisa ditaklukkan dengan adanya keinginan yang kuat, kemauan untuk berubah, dan aksi nyata. [Sumber: Samuel Lantu/PRM/08102017]