Kisah Cinta yang Pelik
Sumber-Informasi.com - Kisah Cinta yang Pelik - Kamu satu-satunya di hatiku. Berapa juta kali pernyataan semacam itu keluar hanya sebagai pengganti ungkapan selamat tinggal; dan kau, iya kau, lelaki berambut gondrong dengan cambang lebat yang mengidolakan Soe Hok Gie, pernah mengatakan ucapan itu kepadaku, iya aku, perempuan penyuka jilbab merah marun yang belakangan ini hobi memetiki bunga mawar di halaman rumah meski tahu ia berduri.Kamu satu-satunya di hatiku. Berapa juta kali pernyataan semacam itu keluar hanya sebagai pengganti ungkapan selamat tinggal; dan kau, iya kau, lelaki berambut gondrong dengan cambang lebat yang mengidolakan Soe Hok Gie, pernah mengatakan ucapan itu kepadaku, iya aku, perempuan penyuka jilbab merah marun yang belakangan ini hobi memetiki bunga mawar di halaman rumah meski tahu ia berduri.
Seharusnya kau tidak melupakan kata-katamu itu. Memang, kau tidak mengungkapkannya secara langsung di hadapanku. Mata ke mata. Mulut ke telinga. Hanya melalui aplikasi chatting. Tetapi, bukankah kau sering baca dan kau sendiri sering mengutip kalimat junjunganmu itu, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.
Bukan, bukannya aku menganggapmu munafik. Aku hanya tidak menyangka. Aku menganggapmu lelaki terjujur dan paling berkomitmen yang pernah ada. Oke. ini salahku, mungkin aku terlalu berlebihan menilaimu. Semestinya dulu aku tidak seberlebihan itu. Aku menyesal. Tapi, apa gunanya menyesal? Ranting yang patah tetaplah patah, sekeras apa pun aku menyesal.
Sebentar, aku mau merapikan koper. Tumpukan jilbab merah marun, pakaian, buku-buku, dan ya, kacamata; kacarnata minus bergagang perak ini pemberianmu pada makan malam pertama kita. Oh ya, aku juga mengemas sepucuk mawar merah yang sudah layu dalam plastik kecil. Mawar pemberianmu. Aku menimang-nimang mawar dalam plastik itu. Aneh, memandangi mawar itu aku malah menjadi teringat wajah muramku yang tadi kulihat di cermiri. Ah sudahlah.
Zahra, maaf, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelasin. Aku sama dia nggak ada apa-apa. Dia cuma teman sesama aktivis. Nggak lebih dari itu. Kamu salah paham. Ayolah, kumohon kamu mengerti. Tadi itu aku makan bareng dia untuk ngebahas masalah HAM terkini. Itu aja. Soal aku nyuapin dia? Maaf aku tau aku salah, tapi ini nggak seperti yang kamu pikirkan.
Ceklis satu.
Malam ini aku bahagia sekali. Bagaimana tidak, dia betul-betul memenuhi janjinya. Dia benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku tepat pukul sembilan malam, tanggal sembilan, bulan kesembilan, bertepatan hari ulang tahunku.
Dia mengutip sajak-sajak Kahlil Gibran dan Aan Mansyur. Membacakannya kepadaku dengan suara teduh. Aku merasa tersanjung. Pipiku bersemu merah. Lalu, tanpa kusangka-sangka, dia mengecupku. Tepat di kening. Di kafe, lagu Surat Cinta untuk Starla sedang terputar; aku merasa Virgoun menyanyikan lagu itu merdu sekali. Pendingin ruangan terasa begitu sejuk di tubuhku. Kupikir itu udara tersejuk yang pernah kurasakan.
Leherku berdesir. Seluruh hal di sekelilingku tetiba menjadi begitu indah. Seolah-olah di taman bunga. Seperti di surga. Apakah surga seperti ini? Kalau iya, tentu aku akan lebih rajin beribadah.
Kemudian dia menyuapiku. Begitu perlahan seakan-akan aku anak-anak yang baru belajar makan. Tapi aku suka. Aku juga suka memandangi wajahnya yang tampak lebih tampan dengan cambang lebat. Wajahnya memancarkan ketulusan. Kantung matanya yang agak kelabu semakin menegaskan lambang ketulusan. Tidak ada tanda-tanda pendusta pada garis wajahnya. Setidaknya, selama aku belajar ilmu Psikologi, aku tidak menemukan ciri-ciri seorang pembohong pada dirinya. Dan itu, tentu saja. membuat bunga di dadaku semakin mekar.
Pada suapan kedua bumi seperti bergoyang. Garpu di pegangannya terlepas dan mementalkan potongan kecil rendang daging ke blusku. Blusku yang putih menjadi bernoda.
Seorang perempuan berjilbab merah marun datang ke meja kami, marah-marah, dan merusak taman bunga dalam pikiranku. Perempuan itu lalu pergi sambil menangis tepat ketika lagu Surat Cinta untuk Starla tuntas. Selesai.
Setelahnya, aku pulang. Sama seperti perempuan itu, aku juga pergi sambil menangis. Bagaimana tidak, bunga-bunga di dadaku layu sudah dalam sekejap.
Dua tahun tiga bulan bukan waktu yang sebentar, meski bukan pula waktu yang lama. Pada umur dua tahun tiga bulan seorang bayi manusia sudah mulai belajar berbicara dan berjalan. Sudah mulai dapat mengeja kata meski terbata-bata. Sudah mulai dapat melangkahkan kaki meski tertatih-tatih. Sebuah taman bunga, pada umur dua tahun tiga bulan, mungkin telah berkali-kali kembang dan kuncup. Satu kelopak pergi, kelopak lain datang mengganti.
Dua tahun tiga bulan telah mereka tempuh bersama, semenjak pertemuan tak sengaja di perpustakaan kampus.
"Zahra," kata si perempuan.
"Gurun," kata si lelaki.
"Nama kamu aneh," heran si perempuan.
"Begitulah. Kalau saja boleh memilih nama sendiri, aku bakal memilih nama Gie."
"Per Gie?"
"Bukanlah ha ha. Gie, itu lho aktivis dan mahasiswa yang nulis Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie."
"Ohh."
Semenjak itu mereka akrab. Bertukar nomor WhatsApp, saling follow di media sosial, makan bareng, jalan-jalan bersama ke mal atau ke tempat-tempat keramaian. Mulanya malu-malu mengungkapkan perhatian dan perasaan; lama-lama saling mencemaskan, saling merasa takut kehilangan.
"Janji ya sama aku," tulis si perempuan.
"Kamu satu-satunya di hatiku," balas si lelaki.
Rabu itu hujan deras mengguyur area kantor bupati. Puluhan mahasiswa yang tadi berkumpul dan berdemonstrasi soal pembangunan infrastruktur yang memakan hak tanah warga sudah membubarkan diri. Hanya tinggal tersisa beberapa orang berjas almamater. Dua di antaranya, lelaki dan perempuan tengah berteduh di bawah naungan halaman ruko yang kosong. Mereka dua dari delapan-puluh satu demonstran yang tadi berunjuk rasa memenuhi depan pagar kantor bupati.
Awalnya tak ada percakapan apa-apa antara keduanya. Hening. Hanya ada suara ricik hujan dan sesekali gemuruh langit. Saat petir berdenyar cukup kencang, si perernpuan tiba-tiba mendekap erat punggung si lelaki. Tidak sengaja, tentunya. Tetapi, biar bagaimanapun, sisa kehangatan dari dekapan yang sesaat itu tak dapat dielakkan.
"Maaf," kata si perempuan.
'Iya nggak apa-apa," timpal si lelaki seraya senyum tipis.
Sebagaimana ia tadi tiba-tiba saja mendekap punggung lelaki itu, kini ia tiba-tiba saja jatuh hati pada senyuman lelaki bercambang itu. Barangkali fungsi senyuman ketika hujan seperti fungsi jaring laba-laba menjaring dan memerangkap hati yang lengah. Atau barangkali di antara tetes-tetes hujan yang jatuh ketika itu, ada setetes yang memercik dan menembus bagian paling riskan di dalam tubuh perempuan itu.
Itu adalah rabu berhujan yang istimewa. Setidaknya, bagi si perempuan. Ia dapat berkenalan lebih jauh dengan si lelaki. Ia masih ingat betul ekspresi tawa kecil si lelaki ketika mendengar namanya.
"Melati."
"Wah, indah ya nama kamu. Harum juga kayaknya."
Sementara bagi si lelaki, itu adalah Rabu kelabu yang membuatnya dilema.
Sebuah perasaan melesat masuk ke hatinya tanpa bisa dicegah. Ia merasa bersalah dan berdosa, tapi ia tidak sanggup menepis hantaman perasaan itu.
Hujan berhenti. Namun, kisah sepasang manusia di bawah hujan itu masih berlanjut, hingga beberapa waktu kemudian. Hingga lagu Surat Cinta untuk Starla usai dinyanyikan di sebuah kafe pada suatu malam.
Dari jendela kereta perempuan berjilbab merah marun itu mulai melihat permukiman-permukiman dan sawah-sawah yang temaram. Pandangan matanya begitu hampa. Sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun tujuannya. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, 2.43. Jam tangan itu basah.
Tembok kamar itu bergetar. Seseorang baru saja menonjokkan ujung tangannya ke situ. Di tepi kasur, di samping serakan pakaian tampak buku-buku sobek dan terpisah dari sampulnya. Seseorang itu; seorang lelaki merighantamkan tangan kanannya yang terkepal ke arah cermin. Prranggg. Pecahan cermin berserakan seperti geguguran daun. Ia mengamati tangannya. Merah. Marun.
Di dinding jam menunjukkan pukul 2.43.
Ketika seluruh anggota keluarganya telah nyenyak tertidur, perempuan itu keluar dari kamar, menuju dapur. Ia mengambil pisau lalu tanpa ragu mengiris nadinya seperti mengiris-apel. Keesokan harinya, rumah itu dipenuhi wangi melati.*** [ Erwin Setia]