Cerita Pendek Anak: Membuat Sapu Lidi
Sumber-Informasi.com - Cerita Pendek Anak: Membuat Sapu Lidi - Bu Dina memberikan tugas kepada murid-murid kelas IV agar membuat sapu lidi sebanyak satu buah. Mereka diberi waktu selama dua pekan. Ketika wali kelas tersebut memberikan perintah, aku teringat seorang pembuat sapu lidi di kampungku yang bernama Bi Amah. Ya, dia membuat dan menjual sapu lidi dari pohon kelapa. Ukurannya tinggi dan harganya terjangkau. Ia jual sapu lidi tersebut ke tetangga atau ke pasar. Bahkan sering ada orang yang datang ke rumahnya khusus untuk membelinya.
"Kalian harus buat sendiri ya! Jangan menyuruh orangtua apalagi membeli dari orang lain!" kata Bu Dina.
Dua pekan kami libur sekolah setelah pembagian buku rapor di semester ganjil. Tugas yang diberikan itu sengaja agar murid-murid tak main terus. Waktu terisi dengan kegiatan positif seperti membuat sapu lidi.
Sepulang pembagian rapor dari sekolah, aku mengambil dompet dari tas. Uang sebesar Rp 6.000 kuambil dari dompetku yang berwarna merah muda. Bergegas aku menuju rumah Bi Amah yang berada di sebelah barat rumahku.
“Punten!" kataku sambil mengetuk pintu.
"Mangga!" terdengar ada jawaban seorang perempuan dari dalam. Senyumnya mengembang menyambutku.
"Mala? Perlu sapu lidi, ya?" tebaknya.
"Iya, Bi. Masih ada?" tanyaku penuh harap.
Tak disangka. Ternyata sapu lidi buatannya baru saja ada yang memborong. Dibeli semua untuk dijual kembali di kota oleh pengepul. Aku merasa kecewa.
"Kapan mau membuat sapu lagi?" aku masih punya harapan.
“Entahlah, Neng. Nanti jika sudah ada, akan Bibi sisihkan untukmu," janji Bi Amah.
Dua hari kemudian, aku kembali ke rumahnya. Siapa tahu Bi Amah sedang membuatnya lagi. "Bibi entah kapan akan membuatnya lagi, Neng. Karena Bibi sedang disibukkan membuat kue saroja untuk dikirim ke saudara yang akan hajatan," jawaban Bi Amah membuatku hilang harapan.
Aku pulang dari rumahnya dengan gontai. Teringat kata-kata Bu Dina agar sapu yang dibuat haruslah buatan sendiri dan bukan pula beli dari orang lain. Tak terbayang olehku apabila harus membuat sapu lidi. Belum pernah sekalipun aku membuatnya. Bukan perkara mudah membuatnya. Perlu waktu yang tak sebentar. Dan harus duduk berlama-lama, pasti akan membuat jenuh dan pinggang terasa panas. Tubuh juga menjadi lelah. Ah, mending beli saja. Tapi mau beli ke mana lagi? Bi Amah satu-satunya pembuat sapu lidi di kampungku.
“Oh, aku beli ke pasar saja," gumamku dengan senang. Tak apalah aku membelinya dari pedagang di pasar. Meski harganya jauh di atas harga yang dipatok oleh Bi Amah, selisih harganya hanya beberapa ribu rupiah.
Namun sayang, penjual barang-barang rumah tangga sudah lama tidak menjual sapu lidi karena tidak ada yang mengirimnya. Aku berkeliling di dalam pasar mencari orang yang menjual sapu lidi. Tetapi tak satu pun yang menjualnya. Keluhanku tak kucurahkan pada ayah atau ibu karena mereka pasti tidak akan setuju aku membeli sapu lidi untuk dikumpulkan sebagai tugas dari wali kelas.
Waktu libur semester tinggal tiga hari lagi. Akhirnya aku mengatakan pada ayah bahwa aku sedang membutuhkan sapu lidi sebagai tugas dari sekolah.
"Mengapa baru sekarang bilangnya? Tinggal tiga hari lagi waktunya masuk sekolah," ayah merasa heran.
Hari itu juga ayah mengambil daun kelapa. Dan aku harus memisahkan daun kelapa dengan lidinya dengan sabar. Waktu pun terus merambat.
"Alhamdulillah, semuanya telah mengumpulkan tugas yang Ibu berikan. Dan Ibu yakin sapu lidi kalian buatan sendiri, bukan menyuruh orang lain atau beli dari pedagang," kata Bu Dina.
Aku teringat saat membuat sapu lidi yang ternyata menanamkan nilai kesabaran, kerapian, dan juga kejujuran. Aku juga teringat pelajaran PKN yang menyatakan "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh". Ya, sapu lidi gunanya untuk menyapu. Jika semua lidi disatukan dengan simpay yang kuat mengandung filosofi bahwa kita harus bersatu untuk meraih suatu tujuan. [Sarah Akmalia Zakiyah]