Agar Anak Punya Mental Membal, Coba Tips Ini!
Sumber-Informasi.com - Mendampingi anak melalui setiap fase kehidupannya mungkin saja akan berhadapan dengan kegagalan atau kekalahan yang mereka alami. Itu karena tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai dengan keinginan anak-anak kita. Akan ada peHSiriggungan dan perubahan yang bisa jadi tidak sesuai ekspektasi.
Peran orangtua menjadi amat besar untuk mendidik anak menyikapi kegagalannya. Jangan sampai karena tidak tahu cara menyikapi kekalahan, di kala dewasa nanti anak tidak memiliki self acceptance (penerimaan diri) yang baik.
Dalam perjalanan anak mencetak prestasi, ada satu momen yang paling sering dicemaskan orangtua yaitu tatkala anak mengalami kegagalan. Kegagalan biasa diasosiasikan dengan momen kekalahan, ketidakmampuan, keburukan, dan ketidaksempurnaan.
Terlebih jika kegagalan menimpa anak yang tengah berjuang membuat prestasi. Tak jarang, momen tersebut berimbas pada kemurungan, trauma, bahkan membuat orangtua dan keluarga gusar dan cemas.
Menurut Sitha Koosdina Suryaningrum dari PartnerInc, momen kegagalan justru krusial bagi pembentukan karakter anak. Bahkan, kegagalan yang terjadi saat anak berjuang adalah prestasi paling besar bagi hidupnya.
Jika seorang anak gagal juara, gagal menang, gagal untuk mampu, itu tanda bahwa ia telah belajar dan mencoba.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan orangtua setelah anak mengalami kegagalan adalah mendampingi anak untuk melewati masa kegagalannya dan meyakinkan anak untuk tidak menyerah.
Sebenarnya, ada banyak pelajaran yang bisa dievaluasi dari sebuah kegagalan. Jika orangtua menjadikan kompetisi sebagai wadah bagi anak untuk menjajal kemampuan dirinya, momen kegagalan akan mudah menjadi batu loncatan anak memperbaiki dirinya.
Banyak success story yang berawal dari kemampuan bangkit dan berhasil mengatasi kegagalannya. Namun adalah manusiawi jika orangtua menjadi kecewa dengan kegagalan anak. Untuk itu, sebaiknya orangtua tidak terlalu fokus pada kegagalan, tetapi cara pandangnya dialihkan pada seberapa besar usaha anak hingga bisa mencapai tahap tertentu.
Hidup itu dinamis. Jika pernah menang, mungkin saja bisa kalah selanjutnya. Ajarkan hal itu kepada anak agar anak tidak jemawa saat menang, tidak merana saat gagal. Salah satu metode favorit untuk hal ini adalah teori resilience alias ketahanan (untuk mental) anak.
Buku panduan untuk mempelajarinya antara lain A Guide to Promoting Resilience in Children karya Edith Grotberg. Disebutkan, seseorang yang memiliki mental "membal" akan mudah menata kegagalan dan bahkan mengubahnya menjadi inspirasi berkarya selanjutnya.
Dalam KBBI, membal diartikan melenting lalu kembali keadaan semula seperti bola ditekan. Harapannya, anak-anak yang terbiasa dengan daya tahan seperti ini, tidak mudah menyerah saat kalah, tetapi juga tidak mudah puas saat juara.
Kegagalan adalah hal yang tidak menyenangkan. Itu adalah hantaman dan siapa saja bisa mengalaminya, usia berapa saja. Akan tetapi, penyikapan atas kegagalan ini secara garis besar akan mengerucut pada dua karakter.
Pertama, kegagalan yang mengubah seseorang menjadi learner alias pembelajar. Mereka yang besar hati dan lapang dada, mengerahkan kerangka berpikir logikanya untuk menarik pelajaran dari kesalahan atau penyebab kegagalannya.
Kedua, akan memunculkan karakter judger alias menghakimi. Ini yang harus dihindari. Sifat ini akan menimbulkan ciri khas lain seperti playing victim (berpura-pura menjadi korban) dan blaming others (ketidakmampuan menerima kekalahan sehingga harus melampiaskannya kepada orang lain).
Karakter ini bisa menghambat proses kemajuan anak untuk mengembangkan potensinya. Karena bisa berimbas pada keraguan akan kemampuannya dan tidak memiliki kepercayaan diri.
Dengan konsep resilience, orangtua bisa mendidik anak-anaknya agar bisa bersikap dinamis sesuai lingkungan dunia yang memang akan terus berubah.
Dasar dari konsep ini ada tiga, yakni i can, i have, dan i am. Konsep i can terkait dengan kemampuan anak seperti keterampilan, potensi akademik, berpikir logika, serta komunikasi. Secara alamiah, anak melalui proses perkembangan ini dengan belajar kemandirian serta dibiasakan memecahkan persoalannya sendiri.
Kemudian, konsep i have adalah anak merasa punya sumber dukungan yang bisa dijadikan pegangan saat ia bereksplorasi dan sumber ini berasal dari luar diri. Untuk hal ini, orangtua bisa mengeratkan bonding dengan anak yang bisa dilakukan dengan banyak cara. Intinya, yakinkan anak bahwa mereka bisa mendapatkan rasa aman bersama orangtua.
Terakhir, konsep i am. Konsep ini akan tercapai jika anak sudah bisa mengenal diri sendiri. Triknya, orangtua bisa membiasakan melabel anak dengan nilai-nilai positif. Tapi bukan berarti memuji berlebihan.
Tiga Kunci Utama
Jika anak mengalami kegagalan, Sitha berbagi tiga tips yang bisa dilakukan orangtua. Harapannya, bila anak terbiasa dengan penyikapan ini, mereka bisa mengingatnya sampai dewasa jika menemui situasi serupa.
Pertama, selalu awali dengan empati. Emosi anak tidak boleh diabaikan. Sebaiknya, orangtua pastikan terlebih dahulu emosi yang dirasakan anak. Jika sulit dikenali (diobservasi), bertanyalah pada anak, apa yang ia rasakan.
Selain mengajarkan anak agar melabel jenis emosi, mengenali emosi anak juga bisa menjadi modal orangtua, membantu memecahkan persoalan yang tengah dihadapi anak.
Kedua, orangtua sebaiknya berhati-hati saat bereaksi. Antara lain, tidak meremehkan kesulitan anak, tetapi juga tidak menyalahkan sesuatu selain anak itu sendiri. Orangtua bisa berperan mengurangi emosi anak jika masih meledak-ledak. Alihkan pembahasan kegagalan menjadi kerangka berpikir logika. Harapannya, anak bisa mendapat inspirasi untuk memperbaiki kegagalannya.
Terakhir, beri constructive feedback atau saran yang membangun. Hati-hati, anak mungkin tidak membutuhkannya. Jika begini, orangtua bisa menggantinya dengan dukungan moral. Tapi jika anak masih terlihat bingung mengatasi masalahnya, orangtua bisa bertanya apakah anak memerlukan bantuan. Itu pun jangan langsung dibantu, arahkan anak agar memikirkan bagaimana orangtua bisa membantu persoalan mereka.
Anak adalah pembelajar yang hebat. Alangkah lebih baik jika mereka dibiasakan agar bisa melihat setiap persoalan dari sudut pandang lain yang lebih bernilai positif. Sebagai orangtua, kecemasan dan rasa khawatir mendampingi anak saat mengalami kekalahan tentu akan ada. Tapi, jangan ambil kesempatan anak untuk belajar. Orangtua bisa tetap menemani dan memantau, tetapi biarkan anak berani menghadapi hidupnya sendiri. [Eva Fahas/PRM/05052019]