Cerita Pendek : Antologi Hati
Berbeda dengan pagi sebelumnya, mereka sarapan tanpa kehadiran Nisa, anak sulungnya. Bi Minah sudah mengantarkan sarapan ke kamar Nisa sesuai permintaannya. Sementara Ardi ditemani istri dan anak kedua mereka Ami melahap nasi goreng buatan Bi Minah.
“Mama, agak heran Pak, dengan kelakuan Nisa akhir-akhir ini,” ujar Kania memulai pembicaraan di tengah prosesi sarapan mereka.
“Memangnya kenapa, Ma?”jawab Ardi seraya menyuapkan sesendok nasi goreng terakhir ke mulutnya.
“Akhir-akhir ini Nisa jadi pendiam, sering melamun dan mengurung diri di kamarnya,” kata Kania seraya menatap wajah suaminya.
Ardi sedikit tercenung, sebulan terakhir ini memang dia kurang sekali memperhatikan kondisi keluarganya karena kesibukannya di kantor.
“Ibu udah tanya Nisa, kenapa dia seperti itu?” Ardi balas bertanya seraya beranjak dari kursi dan meraih tas kerja yang terletak di atas meja.
“Udah, tapi tidak ada jawaban yang memuaskan.” “Maksudnya?”
“Nisa, hanya bilang enggak apa-apa! Cobalah Bapak ngomong sama Nisa, mungkin Nisa akan lebih terbuka kalau sama Bapak,” ujar Kania lagi sambil merapikan dasi yang dikenakan suaminya. Ardi tidak serta-merta merespons permintaannya, hanya diam dan kelu sesaat. Ardi melihat jam tangan mewah yang dikenakannya, dahinya sedikit berkerut, air mukanya terlihat sangat bingung.
“Tapi Ma, pagi ini Bapak harus segera ke kantor karena ada pertemuan dengan klien, nanti pulang dari kantor Bapak coba ngomong sama Nisa,” kata Ardi seraya beranjak menuju mobilnya yang dari tadi dipanaskan mesinnya oleh Mang Diman, salah satu pembantunya. “Enggak pamit dulu sama Nisa, Pak?”
“Bapak terburu-buru, Ma!” timpal Ardi segera memasuki mobilnya dan langsung pergi karena harus berpacu dengan waktu. Sementara Kania hanya terdiam dan bengong. Ada perasaan gelisah dalam hatinya saat itu, tapi entahlah rasa apa itu yang jelas hatinya begitu berbaur saat itu. Sesaat kemudian ia beranjak bermaksud menuju kamar Nisa untuk memastikan kondisi putri tercintanya baik-baik saja.
“Tok-Tok-Tok,” Kania mencoba mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat terkunci.
“Nisa! Buka pintunya, sayang! Kamu baik-baik saja, kan?” ujar Kania seraya mengendap seolah ingin mendengarkan sesuatu dari dalam kamar anak sulungnya.
“Nisa, sayang!” Kania kembali mencoba memanggilnya, kali ini suaranya agak keras, dengan harapan agar Nisa akan merespons panggilannya. Namun setelah beberapa saat Kania memanggil belum ada reaksi apa pun dari dalam kamar itu.
“Nisa sayang, buka pintunya dong! Kamu baik-baik saja, kan?” Kania tidak menyerah, air mukanya terlihat begitu khawatir. Kania hanya bisa tertegun di depan pintu kamar Nisa, ia terduduk dan tak terasa ada cairan bening yang menyelinap di antara sudut matanya lalu berderai membasahi pipinya.
Hatinya begitu berkecamuk dengan segudang prasangka. “Kenapa? Apa yang terjadi dengan Nisa? Kenapa Nisa jadi seperti ini? Apakah aku yang telah membuat Nisa seperti ini?” Berbagai tanya itu terus berkecamuk dalam hatinya.
Seiring kalutnya yang terus menampakkan kelebat bayangnya, tiba-tiba terdengar suara kunci kamar terbuka. Secepat refleksnya Kania bangkit dan berpaling ke arah pintu.
Sesosok gadis berusia 14 tahun berdiri persis di ambang pintu. Nisa berdiri tanpa reaksi lalu kembali ke pembaringan, merebahkan dirinya sembari menarik selimut bergambar Hello Kitty warna pink menutupi seluruh tubuhnya.
Kania tidak menyia-nyiakan kesempatan segera menghambur ke dalam kamar, terduduk di sisi risbang di mana Nisa berbaring. Tangannya mengelus bagian punggung putrinya yang terbaring membelakanginya.
“Kamu baik-baik saja kan, sayang?” ucapnya lirih sekali, nada bicaranya menyiratkan kasih sayangnya. Nisa terdiam kelu membisu dalam diam, ditariknya lagi selimut itu hingga menutupi bagian kepalanya.
Melihat kondisi itu Kania menarik napas panjang sekali, hatinya diliputi rasa yang campur aduk. Kania sedih sekali dengan kondisi ini, hatinya merasa bahwa Nisa sedang membencinya.
“Kamu marah sama Mama, ya?” tanya Kania lagi dengan suara terbata menahan haru di hatinya. Pikirnya semakin kalut dan bingung apa yang harus diperbuatnya. Kini hanya isak tangis yang menemaninya. Rasa sedihnya terus bergelayut dalam hatinya. Air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Semakin lama semakin terasa hatinya teriris. Tangis pun pecah membelah suasana melankolis. Kania terus menangis di sisi tempat tidur di mana Nisa terbaring. Tanpa disadari olehnya perlahan selimut itu tersingkap.
“Mama kenapa menangis?” Tiba-tiba Nisa menyapa Kania yang sedang tersedu. Tangan kanannya memegang bahu ibunya. Kania segera berpaling, sesaat tangisnya terhenti, ia menoleh ke arah Nisa. Perasaan hatinya sedikit melega dengan kondisi ini.
“Nisa!” Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Kania segera memeluk tubuh anak sulungnya erat sekali. Nisa pun merespons pelukan ibunya, namun sesaat kemudian Nisa melepaskan pelukan itu. Kania pun sedikit terkejut dengan kelakuan putrinya itu. Untuk sesaat ia hanya bisa tercenung dan bengong.
“Kamu kenapa, sayang?” ujar Kania seraya menatap wajah Nisa. Sorot matanya begitu tajam menatap dirinya.
“Maaf, Ma, aku benci pembohong!” ujar Nisa dengan wajah yang sangat beringas.
“Apa maksud kamu? Siapa yang kamu sebut pembohong?” tanya Kania seraya menatap Nisa.
“Aku sangat kecewa, Ma!” ujar Nisa seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis tersedu dalam kepiluan terdalam. Tubuhnya ambruk di atas tempat tidur itu. Tangisnya semakin pecah, air matanya berderai mewakili kepiluannya.
Sementara itu, Kania tidak bisa berbuat apa-apa, hanya terdiam dalam bingung dan kalut. Dua hati wanita berbeda usia itu sedang merajut pilu yang mengharu.
“Mama, bingung Nisa, apa yang sebenarnya terjadi?” ujar Kania sembari tersedu menahan tangis yang terdesak dari dadanya.
“Bingung atau pura-pura bingung, Ma?” sela Nisa di tengah isak tangisnya seraya bangkit dan menatap wajah Kania, sorot matanya menyimpan kebencian.
“Maksud kamu apa? Mama semakin bingung. Coba kamu jelaskan, apa sebenarnya yang sedang terjadi denganmu, Nisa! Hingga kamu membenci Mama!” ujar Kania sedikit meradang.
“Asal Mama tau ya! selama 14 tahun aku dibohongi oleh Mama dan Bapak!” ujar Nisa lagi, pembicaraannya tersendat isak tangisnya, kedua matanya memerah memandang tajam sekali.
“Dibohongi bagaimana?”
“Kalau aku……..”
“Kalau apa Nisa? Jangan buat Mama bingung!”
“Kalau aku tenyata…..bu-bu….kan, hmm… anak kan-kan…dung Mama! Iya, kan, Ma?” ujar Nisa, sesaat kemudian tangisnya pecah tak tertahankan.
Serasa mendengar bunyi petir di siang bolong yang memekakkan telinga. Kania tertegun, mendengar ucapan anak sulungnya itu. Ada rasa yang bercampur aduk di hatinya. Kenapa ini terjadi di saat yang tidak tepat. Mengapa rahasia ini harus terbuka oleh orang lain? Segudang rasa itu menghantam pilar Kania yang sedang dilanda kekalutan.
“Kami tidak bermaksud membohongimu, sayang!” ujar Kania seraya tangisnya pecah dan menangis sejadinya.
Kania meratapi kondisi ini, ingin rasanya memeluk erat Nisa putri tercintanya tapi Nisa seakan menghindar dan membencinya.
“Tapi Ma……!”
“Meskipun kamu bukan anak kandung Mama. Asal kamu tau Mama dan Bapak begitu menyayangimu. Jika perlu Mama akan bersujud di kakimu, agar kamu bisa memaafkan Mama, sayang!” Kania merintih dalam kepiluan yang teramat dalam, hatinya remuk redam. [Agus Nurjaman]
****************
Antologi Hati adalah sebuah cerita pendek karya Agus Nurjaman. Antologi Hati pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat
Posting Komentar untuk "Cerita Pendek : Antologi Hati"